Siapa yang mendidik anak jika kita berusaha mencari dalam Alquran?. Maka disana kita akan bertemu dengan :
- Lukmanul Hakim
- Ibrahim AS
- Imran (Keluarga Imran)
Alquran menjelaskan bahwa penanggung jawab utama pendidikan anak-anak kita yang paling utama adalah AYAH.
Kita tidak akan mampu membeli surga Allah dengan amalan-amalan kita seumur hidup. Bahkan tidak cukup untuk membayar segala nikmat dan karunia Allah dalam hidup kita. Maka, sangat mungkin kita meminta pada Allah surganya dengan kesempatan amal yang tak terputus, amal jariyah yang salah satunya adalah : Doa anak yang shalih.
Lalu, mari kita sejenak melihat referensi doa anak yang shalih itu :
“Rabbighfirli wa liwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira “
pengertian Kama rabbaya : sebagaimana mereka mendidik/mentarbiyah
Artinya, syarat doa anak-anak kita bisa sampai untuk kita adalah, kita memang mendidik anak-anak kita, mentarbiyah mereka. Menjadikan anak-anak kita ini aset masa depan, hidup setelah hidup kita.
Rabbaya berarti keduanya, ada peran ayah dan ibu disana, bukan ibu saja atau hanya ayah saja. Ingin beli surga?, didik anak-anak kita.
Mengapa Mendidik Fitrah Keimanan anak-anak kita?
Belakangan ini semakin banyak curhat dari kita para orang tua persoalan:
- Anak saya kok ngajinya susah, di suruh shalat susah?
- Dulu anak saya saat masih kecil shalatnya rajin, sudah besar malas
- anak-anak yang meragukan komitmen terhadap agama Islam, sedangkan orang tuanya adalah ustadz.
Contoh-contoh diatas adalah persoalan IMAN.
Mengajarkan Iman itu tidak akan langsung kelihatan hasilnya, karena iman itu akar, iman itu pondasi, letaknya dibawah tanah.
Karena tidak kelihatan hasilnya, lantas kita sebagai orangtua lantas abai persoalan ini. Jika kita mengajarkan akhlak, bisa langsung kelihatan hasilnya.
Problem keimanan :
- Muslim berperangai ganda, shalatnya rajin, korupsinya tetap dilakukan
- Berkomitmen pada shalat, puasa, tilawah tapi tidak berkomitmen pada Al Haq
- Komitmen pada Al Haq adalah produk AQIDAH, bukan syari’ah seperti : shalat, akhlak dan lainnya.
- Alasan bahwa aqidah terlalu kompleks dan abstrak sehingga pendidikan aqidah ditunda
- Waktu telah habis untuk calistung, menghafal dan sebagainya
- Pendidikan fokus pada akhlak dan ibadah
Jika komitmen pada Al Haq, dia akan melakukan yang ma’ruf maka dia akan menjauhi kebathilan, karena dasarnya adalah iman, bukan kebiasaan.
Lantas, apa benar anak-anak usia 0-7 tahun itu konkrit?apa benar iman itu abstrak, sehingga tak perlu ditanamkan pada usia 0-7tahun?
Secara Psikologis, anak-anak sebelum 7 tahun cocok dengan ajaran tentang Iman yang juga abstrak. Anak-anak di usia ini, berfikirnya masih abstrak, penuh fantasi, daya khayal tinggi dan amat sangat kompleks. Orang dewasa yang cerdas adalah orang yag mampu melakukan simplifikasi pada hal yang kompleks. Itulah mengapa, untuk satu objek pun anak-anak akan suka banyak menanyakan “ini itu”😁.
AQIDAH itu kompleks, cocok diajarkan pada anak-anak yang sistem berfikirmya masih sangat kompleks
Anak-anak masih amat sangat percaya kalau kita mengakatakan “di langit sana ada raksasa besar” misalnya, anak2 pasti masih bisa menghayalkan dengan daya hayalnya bahwa itu seperti benar. Sementara orang dewasa akan terkekeh jika mendengar hal semacam itu. Itu salah satu bukti bahwa, anak-anak usia 0-7tahun adalah sedang abstrak-abstraknya.
Sebagai contoh: “Masya Allah neuk, Indah sekali gunungnya, awannya indah ya, Allah Maha Pencipta yang menciptakan Alam semesta”. Kalimat diatas adalah kalimat contoh mengajarkan keimanan.
Idealnya, kita orang tua tetap membiarkan anak-anak pada usia ini, fitrah berfikir kompleks dan abstraknya dibiarkan, tidak distimulasi dengan calistung. Biarkan jika sang anak menjumlahkan 3+5=6, 11,40 atau berapapun yang dia khayalkan. Biarkan A, B, I menjadi bacaan Ayah. Karena memang fitrahnya belum saatnya untuk mengkonkritkan nilai hitungan, mengkonkritkan simbolisasi huruf menjadi kata. Karena, fantasi, kreatifitas di rusak oleh: disiplin dan calistung.
Anak-anak yang berusia 0-7 tahun masih memiliki kecenderungan dekonstruktif/merusak. Karena:
- Masih bermain paralel play, belum game
- Ego sentris (bekal untuk berpegang teguh pada Allah kelak, tidak mudah terpengaruh)
- individualistik
- Belum mampu bekerjasama
- Jangan ajarkan sosiabilitas
Mungkin, kita akan berargumen, tapi anaknya udah bisa lho?!.
Bukan soal BISA dan tidak BISA tapi tentang PERLU atau tidak.
BISA, belum perlu—-JANGAN, PERLU, belum bisa—-JANGAN.
Saat ini banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan pendidikan karakter untuk anak-anak, namun sayangnya, pendidikan karakter yang di tawarkan adalah akhlak.
Pendidikan Karakter adalah AQIDAH, buahnya adalah Akhlak.
Menelisik kembali bagaimana Alquran berkisah tentang Lukmanul Hakim yang berwasiat kepada buah hatinya, apa yang disampaikan Lukmanul Hakim?
- Jangan menyekutukan Allah (Aqidah)
- Berbuat baik pada orang tua (Akhlak)
Paling mudah mendidik anak-anak kita menjadi muslim, karena memang Fatara-Fitrah-Tercipta-Given, sudah dari sononya. Sebagaimana hadist Rasulullah, bahwa setiap anak itu lahir dengan fitrah, namun orang tuanyalah yg menjadikannya nasrani dan majusi. Rasulullah tidak pernah menyebutkan orangtuanya menjadikannya ISLAM. Karena memang fitrahnya sudah tertanam Imam kepada Allah. Sudah pernah terjadi pengakuan Rubbubiyah di adalm Ruh, sebelum lahir ke bumi. Saat lahir ke bumi, kita bersyahadat tentang ILAH. Makhluk atau apapun bisa saja dijadikan ILAH namun tidak akan pernah menjadi RABB.
Dear laila sayang…rawatlah fitrah anak-anakmu.
MENANAMKAN CINTA, BUKAN TAKUT.
Cinta itu bisa mengalahkan sayang, sayang itu bisa mengalahkan takut. Maka, jika sudah cinta pada Allah, kita sudah tidak lagi sayang pada harta, sudah tidak takut lagi untuk mati di jalan Allah.
Jangan terbalik mendidik anak-anak kita. Kita menanamkan rasa takut pada Allah, sedangkan takut mampu dikalahkan oleh sayang dan cinta. Saat ini kita lebih sering menanamkan pada anak-anak kita tentang dosa Adam AS, ketimbang awas pada dosa iblis. Dosa Adam As adalah melanggar larangan, sedangkan dosa iblis?.Tidak mengerjakan perintah Allah.
Shalat dan Ibadah Syariah lainnya berat?
Tentu berat, karena begitulah hakikatnya. Makanya, dibebankan pada yang sudah taklif/sudah baligh. Jika anak-anak yang sedang diajarkan shalat di usia 7 tahun mengeluh berat shalat?. Itu adalah wajar. Karena Allah sendiri memang menamakannya beban syariah/Taklif syar’ie. Karena beban inilah, Allah menamakan rukhsah yang berarti keringanan jika ada yang didispensasikan. Rukhsah boleh mengqashar/menjamak shalat pada musafir, boleh berbuka puasa dan mengganti dihari lainnya pada wanita hamil dan rukhsah lainnya.
PR kita adalah mentarbiyah diri dan anak-anak kita agar mencintai yang memerintahkan shalat dan ibadah/beban syariahlainnya. Penanda terbaik dari iman itu adalah shalat, karena shalatlah yang paling berat. Kita pasti rela jika yang memerintahkan itu adalah Zat yang amat sangat kita cintai, karena cinta memabukkan. Kita akan rela melakukan apa saja. Bahkan mengorbankan jiwa dan raga demi zat yang kita cintai.
Saat mengajari anak-anak kita shalat, puasa maka hal utama yang kita ajarkan adalah tentang niat. Berbicara niat, maka kita sedang membicarakan tentang iman.
Niat-Iman:
Jika tidak kita mulai dari niat, maka kita hanya mengajarkan rutinitas. Kebiasaan.
Kebiasaan hanya akan masuk dalam memori anak-anak kita, tapi Iman masuk ke hati
Anak-anak yang mendapatkan hak-haknya, dia akan dengan senang hati melakukan kewajibannya.
Menanamkan pendidikan Aqidah pada anak-anak kita
- Keteladan (kitalah orangtua yang berada di garda terdepan mencontohkan.
- Kisah-kisah (seindah-indah kisah/Ahsanul Qashas adalah kisah Nabiyullah Yusuf AS.)
- Lagu, bermain, bernyanyi
- Rekreasi, jalan-jalan, menjelajah alam.
Fitrahnya manusia itu melekat, manusia sejak awal mula diciptakan adalah melekat, jika tidak dilekatkan pada Allah maka ia akan melekat pada taghut.
Mengajarkan Konsekuensi
Cerita Ustaz Adriano Rusfi saat anak beliau yang saat itu berusia 11 tahun meninggalkan shalat jumat.
“Adik tadi shalat jumat?”
“Tidak bi”
Ustazd Aad satu sisi merasa anaknya sudah mampu jujur mengakui kesalahan, hingga hampir tidak tega melaksanakan perintah Allah untuk menghukum anaknya. Akhirnya beliau tetap memukul anak beliau, hingga jadi bisa menjadi pelajaran untuk tidak pernah diulangi lagi. Namun, demi menghargai kejujuran anak beliau, beliau menghadiahkan sepatu yang sudah lama anak beliau idam-idamkan. Karena kejujuran itu harus dibayar mahal. Menempa anak beliau bahwa jujur itu berbuah manis, dan kesalahan juga harus ditegakkan. Masya Allah.
Diatas realitas alami, kita didik generasi islami. Bukan dengan mengkondisikan realitas islami, mendidik anak kita menjadi islami. Biarkan anak-anak kita diujikan imannya oleh alam. Karena Allah sudah berjanji pengakuan atas iman adalah ujian. Jangan pernah mengaku beriman jika belum bernah tahan dan menghadapi ujian.
Resume seminar “kupas tuntas fitrah keimanan” disampaikan oleh Ust.Adriano Rusfi, pada hari pertama tanggal 08 Oktober 2016 di Aula Kemenag Provinsi Aceh Banda Aceh. Diselenggarakan oleh Komunitas HEA (Home Education Aceh).
Alhamdulillah Allah anugerahkan kesempatan, kesehatan dan waktu untuk bisa mengais bulir-bulir ilmuNya.