Diposkan pada Fitrah Based Education, homeeducation, homeschool, ibu, Institut Ibu Professional, literasi, parenting, Septi Peni Wulandani

Ibu, Ilmu dan Peradaban

Ibu, dari segi bahasa adalah :

✓panggilan perempuan yang sudah melahirkan,

✓panggilan hormat untuk perempuan yang sudah menikah/belum

✓bagian pokok/utama dari sesuatu, misalnya: Ibu Jari, Ibu Kota, dll.

Jika pusat tata surya adalah matahari, maka perumpamaan ibu adalah pusat-nya rumah tangga. Seorang ibu pengaruhnya amat besar bagi keluarganya. Hingga kita mengenal istilah “ Jika Ibu bahagia, maka seluruh anggota keluarga bahagia ”. Energi positif seorang ibu akan menyebar ke semua penghuni rumah.

Sayangnya, belum ada lembaga ( Alhamdulillah belakangan muncul komunitas-komunitas pendidikan informal bagi ibu) yang mengkhususkan diri mendidik para calon ibu, mempersiapkan para calon ibu. Peran ibu seolah bisa langsung tersemat otomatis saat sang perempuan sudah menikah dan melahirkan. Maka, sang Ibu pun akan berlaku sebagaimana ia mendapatkan pola-pola pengasuhan pada zamannya. Padahal, Ali Bin Abi Thalib sendiri sudah pernah mengingatkan belasan abad yang lalu. “ Didiklah anakmu sesuai zamannya ”. Karena memang mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan kita. Saat sang ibu tidak bersiap, dipersiapkan, atau menyiapkan diri, maka gagaplah sang Ibu. Sesungguhnya butuh ilmu menjadi ibu. Sama seperti kita membutuhkan ilmu saat ingin menjadi dokter, akuntan, psikilog, dll. Namun, masih jarang sekali profesi ibu dipersiapkan matang dengan ilmu.

Mengapa Seorang Ibu Butuh Ilmu?

1. Berumah tangga, mendidik anak sesungguhnya butuh ilmu, bukan hanya otomatis melakukan perlakuan/sikap warisan orangtua pada kita.

2.Musuh banyak. Jika kita tidak mampu memberi pengaruh pada anak-anak kita, maka dia akan mudah dipengaruhi oleh lingkungan selain kita.

3. At Tahrim :66 “Hai orang-orang yang beriman “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….”

4. Annisa :9 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Didiklah diri ibu sendiri dulu, mendidik diri untuk sabar menjawab pertanyaan anak, sabar mendengar, sabar mengajarkan kebaikan, sabar menahan emosi, sabar membersamai pendidikan anak.

Ibu adalah arsitek peradaban

Ada banyak kisah ibu inspiratif sepanjang peradaban. Mari kita belajar pada para ibu yang kisahnya menjadi sejarah. Ibunda Imam Syafi’i, Ibunda Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, Ibunda Muhammad Alfatih dll. Sejatinya seorang ibu sudah mendidik anaknya sejak si anak berada dalam rahim ibu. Bagaimana kita melewati hari-hari kita, itu semua adalah ruang belajar bagi anak kita.

Ibu Septi Peni Wulandani pernah berujar “ Bagaimana seorang ibu bisa jadi arsitek peradaban, jika kita sendiri tuna adab ”.

Memantaskan diri menjadi arsitek peradaban tentu bukan hal yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Mulai belajar lagi adab terhadap ilmu, adab mendatangi majelis, adab berkomunitas. karena, ketika saya ingin mengubah sesuatu menjadi lebih baik, maka sayalah yang harus berubah terlebih dahulu. Pelan-pelan, kita benahi diri. Karena mendidik memang bukan mendadak. Tidak ada hasil instan dalam proses mendidik anak. Bisa jadi, nilai-nilai yang kita tanam setiap hari belum terlihat. Bisa jadi, fitrah keimanan yang kita install belum beruwud pada polah keseharian anak-anak kita. Maka, hargaiah proses.

Anak-anak mungkin salah memaknai nasihat-nasihat kita, arahan kita, namun anak-anak kita tidak pernah salah meniru perilaku kita.

Sumber :

Al-Quran

Istadi, Irawati, Rumahku Tempat Belajarku, Pro-U Media, 2017

Kelas Belajar dan Diskusi Fasilitator Institut Ibu Profesional

 

Diposkan pada Bunda Sayang, ibu, Institut Ibu Professional, parenting, Septi Peni Wulandani

Latihan Kemandirian#2

Hari kedua, Putroe latihan makan sendiri, saat makan pagi, putroe masih makan sendiri, tapi laaaamaaaaaaaa. Emak membiarkan, dan gak dihabiskan ternyata. Emak gak menawarkan bantuan suap dong. Alhamdulillah ngemil camilan brownies, jadi asupan karbonya tetap cukup. Makan malamnya (sore-sore langsung minta makan) Alhamdulillah juga sendiri. Jelang magrib minta tempelin bintang, ummi beritahu ntar bada magrib kita tempel bersama ya….

Seneng banget liat ekspresi Ad Putroe saat menempel bintang.

IMG_20170323_194116_HDR
Membuat tabel kemandirian sendiri

Bagaimana dengan cutAnda Michel dengan project beresin tempat tidur dan menyampu lantai kamar?

Alhamdulillah begitu bangun, langsung dilaksain, dan pagi-pagi langsung nulis di jurnal/diary-nya dia. Eh, ternyata dia minta di tempelin juga di mading kami. Kayak cek list lainnya. Di oke kan juga, biarkan anak-anak berkreasi jangan diatur-atur saklek, nanti malah dia gak berani berkarya karena takut banyak sekali kritikan.

Hmmm…soal standar rapi?

Ya jauh dari ekspektasi mata emak2 dong ya, makanya emak2 pakai kacamata anak-anak. Emak yg bakat disipin di Talents Maping, memang harus menurunkan standar “rapi”nya jika mendelegasikan tugas pada anak yes?.

Latihkan-Delegasikan-Percayakan-Evaluasi (rayakan keberhasilan dan kegagalan), demikian terus, Insya Allah akan berbuah manis.

Yeay…..

Diposkan pada Bunda Sayang, ibu, Institut Ibu Professional, parenting, Septi Peni Wulandani

Melatih Kemandirian anak

IMG_20170322_195359_HDRLatihan kemandirian….
——————————–

Kalau menurut buku “Show and steady Get me Ready” untuk usia 4-5 tahun salah satu latihan kemandirian yang dilatihkan adalah
“makan pakai sendok dan garpu”, kalau putroe sebenarnya sudah bisa, cuma saat ini ad Putroe sedang amat sangat cari perhatian, lingkungan baru, ramai yang bantu dan LDR-an sama ayah…. Baiklah, kita latihan makan sendiri selama seminggu ini ya neuk….
Better late than never kan ya?

Alhamdulillah hari berhasil, entah karena pengen banget nempelin bintang
hihihihihi….

Hari ini evaluasi ba’da magrib, udah bisa tempelin bintang.

Untuk pekan ini, dilatihkan makan sendiri dulu, kalau udah sukses, baru lanjut skills yang baru.

IMG_20170322_201445_HDR

Sedangkan cutAnda Michel (7y2m) punya beberapa hal latihan kemandirian, ini dia listnya:

  1. Membereskan tempat tidur;
  2. Menyapu lantai kamar tidur;
  3.  Meletakkan handuk pada tempat gantungan handuk

Hari ini sukses membersihkan kamar tidur (membereskan tempat tidur dan menyapu lantai), sedangkan handuk masih harus diingatkan.

Sukses Michel, ummi minta tuliskan sendiri di jurnalnya/diarynya, sekalian belajar literasi pelan-pelan.

#hari1#BundaSayang#Level2

#LatihanKemandirian
#Tantangan10hari
#oneweekoneskill
#KuliahBundaSayangIIP
#GhafiraPutroeKhafiyya(4y)

#MicheliaFatinHansakri(7y2m)

Diposkan pada Ayah, Bunda Sayang, ibu, Institut Ibu Professional, parenting, Septi Peni Wulandani

Forum Keluarga Tantangan komunikasi Produktif#4

Tantangan Game

“Komunikasi Produktif” Level 1

Hari keempat#4, 28 Januari 2017

wp-image-575477982jpg.jpg

Sudah beberapa pekan lalu, Michel mengusulkan sesi kultum dari ayah setiap malam minggu. Pekan pertama udah berjalan pekan lalu, emak malah gak ingat kami membahas apaan. Awalnya ya gak kebayang, sosok yang sering banget becanda daripada seriusnya ini bakalan bawakan kultum serius. Ada aja yang menggelitik tawa kami.

Yup, masuk pekan kedua, malam ini, si ayah sudah mencapai targetnya mengkhatamkan bacaan 4 Khalifahnya. Maka, jadilah forum keluarga ba’da magrib kali ini jadi sesi review buku yang si ayah baca. Beliau mulai menceritakan dari Usman bin Affan RA bagaimana khalifah Usman yang terkenal sifat malunya dan dermawannya. Aih…. saya kok baru melihat kalau lelaki ini kalau serius keren juga…bahhahahahaa….

Saat Khalifah Usman bin Affan menjabat, luas wilayah yang dikuasai oleh Islam sudah mencapai Mesir, Iraq. Sehingga, gejolak pada masa Usman bin Affan lebih sering terjadi. Penolakan terhadap Gubernur yang menjabat oleh penduduk setempat dan banyak lagi permasalahan internal lainnya. Michel sering kali interupsi pembicaraan si ayah karena kosa kata yang baru didapatnya.

Sebagaimana yang emaknya pelajari di kelas Bunda Sayang tentang komunikasi produktif, kaidah “I’m responsible for my communication results”, maka kami secara bergantian menjelaskan dengan memilih kata-kata lain yang difahami oleh Michel. Misalnya : “Unjuk rasa” diganti dengan protes, tidak menerima keputusan. Akhirnya emaknya mampu menarik benang merahnya, mengapa Michel dan Putroe memiliki perbendaharaan kata yang amat sangat bervariasi. Mereka sering diajak dialog dengan tema-tema beragam, dengan diksi yang beragam, saat mereka tidak faham, anak- anak ini mengkonfirmasi pada ayah dan ummi makna dan maksud suatu kalimat. Selain mereka juga dibacakan buku dengan beragam gendre. Entah kenapa saya melihat ada persamaan antara si ayah dan Michel, mereka amat gandrung membaca sejarah. Terutama sejarah dan kebudayaan Islam. Dia rela mendengarkan si ayah berlama-lama.

Dan, mereka nyambung saat ngomongin hal tentang itu. Saya dan adek Putroe hanya jadi pendengar yang budiman (budiwati seharusnya ya…hihihi). Putroe yang rentang konsentrasinya belum sampai 4 menitan, sibuk mengitari kami dan kembali duduk dipangkuan sesekali merakan gerakan adek bayi di dalam perut ummi.

Cerita pergolakan masa Usman Bin Affan berlanjut, saat Abdullah Bin Saba’ memimpin pemberontakan pada Khalifah yang berkuasa, karena ketidakpuasan dan amarah karena negerinya (Persia) dikalahkan oleh Muslim. Jadilah ia pura-pura masuk Islam dan merusak umat dari dalam. Berlanjut sampai wafat Usman, digantikan Ali Bin Abu Thalib, kemudian Hasan Bin Ali bin abi Thalib sampai Hasan menyerahkan pemerintahan kepada Muawiyyah.

Lantas si ayah, menutup pembahasan dengan kesimpulan yang amat bermakna.

“Cutanda (Kakak) tau kenapa Islam mundur setelah masa Rasulullah dan kekhalifahan?” tanya si ayah

“kenapa yah” jawab Michel dengan balik bertanya.

“Karena umat Islam sudah mulai cintai dunia” jawab si ayah.

Jika dahulu Umar tidak punya baju bagus yang tanpa tambalan, jika dulu Umar mengantarkan sendiri makanan untuk penduduk yang lapar, maka saat setelah Umar, para Gubernur berlomba-lomba membuat Istana megah. Padahal jabatannya hanya gubernur wilayah, bukan Khalifah. Umar tak pernah mengambil hak khalifah 1/5 dari harta rampasan perang.

” Seperlima itu gimana yah?” Tanya Michel. Yeay…. kesempatan untuk mengajarkannya pecahan dong ya. Saya mencoba menjelaskan secara sederhana. Jatahnya hanya 1bagian dari 5 bagian yang ada. Jika ada kue 5 buah, maka beliau berhak mengambil 1. Michel manggut-manggut faham.

Sementara Adek Putroe sudah terlelap di pangkuan ummi. Forum ditutup dengan serius, bahkan pakai doa penutup majelis, aih…. tambah cinta deh. Tukang guyon, kalau serius bikin jatuh cinta ya…


Michel mengajak ummi Shalat Isya…. Yeay….. rekor lagi, si anak yang ngajak, dan full ikut ummi berjamaah sampai 4 rakaat tanpa diskon. Masya Allah…..

Mari menikmati proses….

Diposkan pada Ayah, homeeducation, ibu, parenting

Mendidik Generasi Aqil Baligh, Islam tidak mengenal fase remaja

Kita tentu masih ingat kasus Yuyun, Eno dan sejenisnya. Rata-rata pelakunya adalah anak-anak dibawah umur. Mereka seolah menjadi tak tersentuh hukum, karena hukum hanya mengenal usia 0-18 tahun sebagai anak-anak, dan 18 tahun keatas sebagai dewasa.

Dapatkah mereka disebut anak-anak jika telah mampu melakukan tindakan seksual?.

Mereka belum AQIL, namun naluri sudah baligh, dan inilah petakanya ketika aqil dan baligh tidak hadir secara bersamaan.

Fenomena remaja kita saat ini.

  • Gank Motor, kenapa bisa terjadi?. Anak-anak kita egonya lemah, tidak berani tampil beda, individualitasnya lemah, ayah tidak hadir dalam tumbuhnya, selalu diajarkan bersosial, seragam, berbagi dengan yang lain di usia yang terlalu dini.
  • Tauran,anak-anak kita sangat mudah terpengaruh (suggestable)
  • Seks Bebas, nafsu anak-anak kita teraktivasi, sedangkan akal sebagai pengendali tidak ada, belum ada. Dianalogikan nafsu adalah gas, sedangkan akal adalah remnya. Seharusnya keduanya hadir agar dapat mengendalikan diri. Alat kontrol perempuan itu: Akal dan Malu, jika akal belum terbentuk dan diabaikan maka malu pun akan hilang. Na’uzubillah.
  • Narkoba, anak-anak remaja kita dimaklumi sebagai fase galau, strong tapi stress, panik, tidak punya identitas ini, dan para bandar menyambut baik kegalauan mereka seolah sang penyelamat.

Fenomena remaja ini, baru dikenal pada abad ke-19, muncul sejak era  revolusi industri dan sekolah. Saat ayah dan ibu bekerja, rumah tidak lagi punya fungsi asal sebagai pusat pendidik utama. Dalam Islam sendiri tidak dikenal istilah remaja.

Mari kita melihat sejarah. Ashabul Kahfi, siapa mereka?, pemuda. Asbabul ukhdud?Para pemuda. Yang beriman pada Musa As?, Pemuda. Usamah bin Zaid?. Pemuda. Tokoh-tokoh Sumpah Pemuda?. Pemuda.

Lalu bagaimana?

Mari kita ubah paradigma kita.

MENDIDIK GENERASI AQIL BALIGH

img_20161116_165443

Apa yang harus kita fahami terlebih dahulu?. Yang harus kita yakini adalah:

  • Tidak ada remaja dalam Islam. Dari anak-anak menuju dewasa, bukan remaja.
  • Mendidik bukan mengajar. Sekolah tidak bisa mendidik, sekolah hanya bisa mengajar. Ilmu pengetahuan dapat ditransfer oleh siapapun, keterampilan (soft skills, hard skills) dapat ditransfer oleh siapapun, namun KARAKTER hanya bisa dibangun oleh ayahbunda di rumah, dengan KETULUSAN. Mendidik itu hanya bisa dilakukan dengan ketulusan.

Karakter ditularkan, tidak bisa diajarkan, yang bisa benar-benar tulus adalah kedua orang tua di rumah.

  • Mendidik oleh kedua orang tua, bukan sekolah
  • Kolaborasi ayah dan bunda

img_20161116_151101

Mengembalikan peran Ayah

  • Man of vision and Mission
  • Penanggung jawab
  • Konsultan pendidikan
  • Sang Ego dan Individualitas
  • Pembangun sistem berfikir
  • Penegak Profesionalisme
  • Supplier maskulinitas
  • The person of tega

Mengembalikan peran Bunda

  • Pelaksana harian pendidikan
  • Person of Love and Sincerity
  • Sang harmoni dan Sinergi
  • Pemilik moralitas dan nurani
  • Supplier feminitas
  • Pembangun hati dan rasa
  • Berbasis pengorbanan
  • Sang pembasuh luka

Diatas realitas alami, kita didik generasi islami, di kehidupan sesungguhnya, bukan simulasi, laboratorium atau representasi kehidupan.

Bagaimana membangun tanggung jawab pada anak-anak kita?

  1. Ajarkan Consequential Learning
  2. Tangan mencencang, bahu memikul
  3. Berikan kebebasan pada anak
  4. Membalas perlakuan
  5. Serahkan amanah dan tanggung jawab
  6. Sungguh anak-anak kita tidak selemah yang dibayangkan.

Permasalahan hidup, juga dapat menekan percepatan baligh, jangan sembunyikan masalah pada anak-anak kita, saling berbagi masalah dengan anak-anak melalui diskusi dan perlahan ajarkan problem solving pada mereka.

Mengajarakan mereka mencari nafkah?

Kita jauh-jauh hari baiknya mengingatkan pada mereka, saat baligh anak-anak kita harus menghidupi diri sendiri. Ustadz Adriano Rusfi berkisah tentang diskusi dengan anak beliau saat sang putra sudah baligh. Kurang lebih begini redaksinya ;

“Saat ini kamu sudah baligh, rekening rezeki kamu sudah Allah pindahkan ke bahumu sendiri, tidak lagi sama Abi. Saat ini, rekening rezeki yang masih sama Abi adalah: Rezeki Abi, rekening rezeki Ummi, rezeki adik-adik, dan rezeki golongan orang tidak mampu yang Allah titipkan pada rekening Abi. Tapi, Abi takkan keberatan bersedekah dari rizki Abi untuk kamu, jadi, saat ini kamu hidup dari sedekah Abi. Saat ini, kamu menumpang hidup di rumah Abi, berlaku lah sebagai sebaik-baik tamu”

Nah, kok bisa sih Ust Adriano tega begitu?.Iya dong, sang Ayah kan memang person of tega, penegak profesionalisme, pembangun sistem berfikir dan supplier maskulinitas.

Anak-anak yang sudah baligh juga tidak lagi dipenuhi permintaannya 100%, namun diajak untuk memikirkan solusi. Saat anak beliau minta motor, beliau mensyaratkan : 10%nya adalah uang kamu, bensinnya kamu yang isi, service Abi tanggung 50%. Lantas apa yang terjadi?. Sang putra memilih dengan penuh pertimbangan, memilih motor yang murah dan sesuai kebutuhannya. Masya Allah. Moga dimampukan mendidik generasi begini.

Anak-anak juga dilatih berorganisasi dimulai dari rumah. Dilatih menjadi EO di even-even keluarga. Agar anak-anak kita siap menghadapi realitas hidup yang akan dihadapinya kelak, dengan atau tanpa kita disisi mereka.

Sebagian kecil materi seminar hari kedua bersama Ustadz Adriano Rusfi, Mendidik generasi Aqil Baligh.

Banda Aceh, 9 Oktober 2016.

Diposkan pada homeeducation, parenting, Review Buku

Gantungkan Cambuk di Rumahmu

Review buku

Gantungkan cambuk di Rumahmu

Penulis : Asadullah Al Faruq

Penerbit : KiswahMedia

  • Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya, dalam hal-hal  yang berguna baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti dia telah membuat kesalahan besar.

Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang mengabaikan mereka, serta tidak mengerjakan kewajiban dan sunnah-sunnaah agama

(Ibnu Qayyim Al Jauziyyah)

Salah satu pesan Rasulullah kepada para orangtua adalah : menggantugkan cemeti di dala rumah.

Gantunglah cambuk di tempat yang dilihat oleh penghuni rumah, sebab ia menjadi pengajaran bagi mereka”(Ath Thabrani).

Mengomentari hadist diatas, para ulama berkata : Tidak ada riwayat yang menyatakan anjuran untuk memukul dengan cambuk. Akan tetapi, maksud beliau adalah jangan menghapuskan pengajaran pada mereka. Ibnul Anbari mengatakan :

Maksud pokok dari menggantungkan cambuk di rumah bukanlah untuk dipukulkan, namun maksud Nabi, janganlah para suami cuci tangan dalam mendidik anak. Rasulullah tidak pernah sekalipun memukul anggota keluarga dan anak-anak yang dalam didikan beliau, apalagi memukul dengan cambuk.

Membiasakan anak rutin beribadah

Dan perintahkanlah kepaada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat yang baik itu adalah bagi orang yang bertakwa (Qs. Thaha:132)

Secara syar’ie kewajiban mendisiplinkan anak untuk shalat dimulai sejak usia 7tahun dan dikenakan sanksi bila berusia 10 tahun, jika tidak mau mengerjakan shalat.

Perintahkanlah anakmu supaya shalat ketika berumur 7 tahun dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) ketika berumur 10 tahun, serta pisahkanlah mereka dalam tempat tidur (HR Abu Daud, Al Hakim dan Baihaqi).

Orang tua hendaknya bersabar dalam rentang waktu 3 tahun dalam menanamkan pembiasaan pada anak agar mencintai ibadah shalat.

Bagaimana Rasulullah menegur anak?

  • Menegur dengan perkataan lembut. Dalam sebuah riwayat Hasan Bin Ali pernah mengambil sebiji kurma sedekah dan hendak menyantapnya,. seketika Rasulullah bersabda :” Buang!tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak makan barang sedekah?”. Rasulullah memilih kalimat tanya, bukan kalimat perintah, agar lebih menyentuh jiwa anak-anak
  • Memberi contoh langsung. Rasulullah bertemu dengan anak yang sedang menguliti kambing, tapi caranya keliru, maka Rasulullah bersabda “Menyingkirlah dulu, akan kuperlihatkan kepadamu cara menguliti dengan benar”. 
  • Memberi kesempatan pada anak untuk berargumentasi.  Riwayat tentang Ibnu Abbas RA yang shalat disebelah kiri beliau, Rasul angkat pindahkan ke sebelah kanan, Abbas balik lagi ke posisi semula, hingga Rasul bersabda “Apa yang menghalangimu nak, untuk diam ditempat yang telah aku tetapkan kepadamu?. Abbas menjawab: Tidak layak bagi seorangpun untuk menyamai engkau. Lalu Rasul bersabda : Ya Allah fahamkan ia dalam urusan agama dan ajarkan padanya tafsir” . Rasulullah akhirnya mendoakan Abbas setelah mendengar argumentasinya. 

Memberi keteladanan sebelum mendisiplinkan

Imam Syafi’e pernah memberikan wasiat kepada yang mendidik anak-anak Khalifah Harun Al Rasyid dengan perkataan “Hendaklah yang pertama kali  engkau ajarkan untuk memperbaiki anak-anak amirul mukminin adalah Memperbaiki dirimu, karena mata mereka itu terikat denganmu. Apa yang baik menurut mereka adalah apa-apa yang kau anggap baik, dan apa-apa yang buruk menurut mereka adalah apa-apa yang engkau tinggalkan”.

Mengikat hati sebelum memberi penjelasan

Disebabkan karena rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu (Qs. Ali Imran :159).

1. Imam Al Baghawi dalam tafsir Al Baghawi menafsirkan “linta lahum” sebagai engkau bersikap memudahkan mereka dengan akhlakmu, banyak menahan diri serta tidak terburu-buru marah karena kesalahan yang mereka lakukan pada masa perang Uhud.

2. Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir (1/486) mengatakan, Qatadah berkata makna Linta Lahum adalah engkau bersikap lemah lembut, berakhlak mulia dan banyak menahan diri dari mereka.

Mengenalkan sebelum memberi beban, At Ta’rif Qabla At taklif

Berkata Ali bin Abi Thalib “Berbicaralah kepada manusia dengan pembicaraan yang mereka fahami, dan tinggalkan apa-apa yang mereka ingkari. Inginkah kamu bila Allah dan Rasul didustakan?”

Rasulullah bersabda :

Perintahkanlah anakmu supaya shalat ketika berumur 7 tahun dan pukullah mereka (bila mereka meninggalkan shalat) ketika berumur 10 tahun serta pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.

Yang dapat kita pelajari dari hadist ini adalah periodeisasi tahapan perintah shalat yang diatur sedemikian apik dalam Islam. Disampaikan dalam 3 tahapan:

  1. Tahap pertama. Perjalanan menuju 7 tahun, periode penyaksian, menyaksikan kedua orangtuanya melakukan ibadah shalat.
  2. Tahapan kedua, tahap memerintahkan dimulai pada usia 7 tahun sampai usia 10 tahun. 3 tahun fase belajar tanpa harus dihukum, namun pembiasaan dan menumbuhkan cinta pada ibadah shalat.
  3. Tahap ketiga, tahap pemberian sanksi, pada usia 10 tahun, saat anak-anak sudah siap dengan beban syariat.

Tentang Hukuman

Syeikh Syamsuddin Al Ambabi dalam risalah Riyadhah Ash Shibyan, beliau menyebutkan tata cara dalam menjatuhkan hukuman berupa pukulan pada anak:

  1. Tidak dipusatkan pada satu titik
  2. antara satu pukulan dengan pukulan berikutnya harus diberi jeda, untuk menghilangkan rasa sakit pada pukulan yang pertama
  3. Hendaknya yang memukul tidak mengangkat lengan, agar daya pukulan tidak terlalu keras dan menyakitkan
  4. Orangtua yang memukul tidak dalam keadaan marah
  5. Tahan tanganmu dari memukul jika terdengar anakmu menyebut nama Allah
  6. Hendaknya jangan dipukul sebelum anak berusia 10 tahun.

Muhammad bin Ibrahim Al Hamd dan Hamd Hasan Raqith dalam bukunya At taqshir Tarbiyatul Aulad menyebutkan bahwa pukulan dalam Islam memiliki beberapa ketentuan

  1. Telah diterapkan sarana pendidikan sebelumnya (nasihat, pengarahan, bermuka masam, pencegahan, pemboikotan) atas perilaku tersebut,
  2. Pukulan sesuai dengan hukuman,
  3. Tidak lebih dari 10 pukulan,
  4. Alat pemukulnya harus memenuhi syarat tertentu
  5. Tata cara pemukulan harus memenuhi syarat
  6. Menghindari memukul wajah, kemaluan, kepala, dan organ vital lainnya,
  7. Menjauhkan rasa marah ketika memukul,
  8. Menjauhkan diri dari kata-kata kotor seperti mencela, mencaci dan menghina anak,
  9. Memperhatikan dengan seksama kondisi anak sebelum memutuskan untuk memukul.

img_20161027_112236_hdrMemukul adalah salah satu cara yang digunakan jika kondisi memaksa sebagai sarana mendidik anak dan meluruskan kesalahan. Pukulan adalah piliham terakhir setelah pilihan hukuman lainnya tidak efektif lagi untuk mendidik, itupum harus sesuai dengan kaidah dan tidak bertentangan dengan yang diajarkan Rasulullah.

Pernahkah Rasulullah memukul anak-anak beliau?

Kabar baiknya TIDAK PERNAH.

 

Rimo, 07November 2016

Diposkan pada homeeducation, parenting

Mendidik Fitrah Keimanan

Siapa yang mendidik anak jika kita berusaha mencari dalam Alquran?. Maka disana kita akan bertemu dengan :

  • Lukmanul Hakim
  • Ibrahim AS
  • Imran (Keluarga Imran)

Alquran  menjelaskan bahwa penanggung jawab utama pendidikan anak-anak kita yang paling utama adalah AYAH.

Kita tidak akan mampu membeli surga Allah dengan amalan-amalan kita seumur hidup. Bahkan tidak cukup untuk membayar segala nikmat dan karunia Allah dalam hidup kita. Maka, sangat mungkin kita meminta pada Allah surganya dengan kesempatan amal yang tak terputus, amal jariyah yang salah satunya adalah : Doa anak yang shalih.

Lalu, mari kita sejenak melihat referensi doa anak yang shalih itu :

Rabbighfirli wa liwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira “

pengertian Kama rabbaya : sebagaimana mereka mendidik/mentarbiyah

Artinya, syarat doa anak-anak kita bisa sampai untuk kita adalah, kita memang mendidik anak-anak kita, mentarbiyah mereka. Menjadikan anak-anak kita ini aset masa depan, hidup setelah hidup kita.

Rabbaya berarti keduanya, ada peran ayah dan ibu disana, bukan ibu saja atau hanya ayah saja. Ingin beli surga?, didik anak-anak kita.

Mengapa Mendidik Fitrah Keimanan anak-anak kita?

Belakangan ini semakin banyak curhat dari kita para orang tua persoalan:

  • Anak saya kok ngajinya susah, di suruh shalat susah?
  • Dulu anak saya saat masih kecil shalatnya rajin, sudah besar  malas
  • anak-anak yang meragukan komitmen terhadap agama Islam, sedangkan orang tuanya adalah ustadz.

Contoh-contoh diatas adalah persoalan IMAN.

Mengajarkan Iman itu tidak akan langsung kelihatan hasilnya, karena iman itu akar, iman itu pondasi, letaknya dibawah tanah.

Karena tidak kelihatan hasilnya, lantas kita sebagai orangtua lantas abai persoalan ini. Jika kita mengajarkan akhlak, bisa langsung kelihatan hasilnya.

Problem keimanan :

  1. Muslim berperangai ganda, shalatnya rajin, korupsinya tetap dilakukan
  2. Berkomitmen pada shalat, puasa, tilawah tapi tidak berkomitmen pada Al Haq
  3. Komitmen pada Al Haq adalah produk AQIDAH, bukan syari’ah seperti : shalat, akhlak dan lainnya.
  4. Alasan bahwa aqidah terlalu kompleks dan abstrak sehingga pendidikan aqidah ditunda
  5. Waktu telah habis untuk calistung, menghafal dan sebagainya
  6. Pendidikan fokus pada akhlak dan ibadah

Jika komitmen pada Al Haq, dia akan melakukan yang ma’ruf maka dia akan menjauhi kebathilan, karena dasarnya adalah iman, bukan kebiasaan.

Lantas, apa benar anak-anak usia 0-7 tahun itu konkrit?apa benar iman itu abstrak, sehingga tak perlu ditanamkan pada usia 0-7tahun?

Secara Psikologis, anak-anak sebelum 7 tahun cocok dengan ajaran tentang Iman yang juga abstrak. Anak-anak di usia ini, berfikirnya masih abstrak, penuh fantasi, daya khayal tinggi dan amat sangat kompleks. Orang dewasa yang cerdas adalah orang yag mampu melakukan simplifikasi pada hal yang kompleks. Itulah mengapa, untuk satu objek pun anak-anak akan suka banyak menanyakan “ini itu”😁.

AQIDAH itu kompleks, cocok diajarkan pada anak-anak yang sistem berfikirmya masih sangat kompleks

Anak-anak masih amat sangat percaya kalau kita mengakatakan “di langit sana ada raksasa besar” misalnya, anak2 pasti masih bisa menghayalkan dengan daya hayalnya bahwa itu seperti benar. Sementara orang dewasa akan terkekeh jika mendengar hal semacam itu. Itu salah satu bukti bahwa, anak-anak usia 0-7tahun adalah sedang abstrak-abstraknya.

Sebagai contoh: “Masya Allah neuk, Indah sekali gunungnya, awannya indah ya, Allah Maha Pencipta yang menciptakan Alam semesta”. Kalimat diatas adalah kalimat contoh mengajarkan keimanan.

Idealnya, kita orang tua tetap membiarkan anak-anak pada usia ini, fitrah berfikir kompleks dan abstraknya dibiarkan, tidak distimulasi dengan calistung. Biarkan jika sang anak menjumlahkan 3+5=6, 11,40 atau berapapun yang dia khayalkan. Biarkan A, B, I menjadi bacaan Ayah. Karena memang fitrahnya belum saatnya untuk mengkonkritkan nilai hitungan, mengkonkritkan simbolisasi huruf menjadi kata. Karena, fantasi, kreatifitas di rusak oleh: disiplin dan calistung.

Anak-anak yang berusia 0-7 tahun masih memiliki kecenderungan dekonstruktif/merusak. Karena:

  • Masih bermain paralel play, belum game
  • Ego sentris (bekal untuk berpegang teguh pada Allah kelak, tidak mudah terpengaruh)
  • individualistik
  • Belum mampu bekerjasama
  • Jangan ajarkan sosiabilitas

Mungkin, kita akan berargumen, tapi anaknya udah bisa lho?!.

Bukan soal BISA dan tidak BISA tapi tentang PERLU atau tidak.

BISA, belum perlu—-JANGAN, PERLU, belum bisa—-JANGAN.

 Saat ini banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan pendidikan karakter untuk anak-anak, namun sayangnya, pendidikan karakter yang di tawarkan adalah akhlak.

Pendidikan Karakter adalah AQIDAH, buahnya adalah Akhlak.

Menelisik kembali bagaimana Alquran berkisah tentang Lukmanul Hakim yang berwasiat kepada buah hatinya, apa yang disampaikan Lukmanul Hakim?

  • Jangan menyekutukan Allah (Aqidah)
  • Berbuat baik pada orang tua (Akhlak)

Paling mudah mendidik anak-anak kita menjadi muslim, karena memang Fatara-Fitrah-Tercipta-Given, sudah dari sononya. Sebagaimana hadist Rasulullah, bahwa setiap anak itu lahir dengan fitrah, namun orang tuanyalah yg menjadikannya nasrani dan majusi.  Rasulullah tidak pernah menyebutkan orangtuanya menjadikannya ISLAM. Karena memang fitrahnya sudah tertanam Imam kepada Allah. Sudah pernah terjadi pengakuan Rubbubiyah di adalm Ruh, sebelum lahir ke bumi. Saat lahir ke bumi, kita bersyahadat tentang ILAH. Makhluk atau apapun bisa saja dijadikan ILAH namun tidak akan pernah menjadi RABB.

Dear laila sayang…rawatlah fitrah anak-anakmu. 

MENANAMKAN CINTA, BUKAN TAKUT. 

Cinta itu bisa mengalahkan sayang, sayang itu bisa mengalahkan takut. Maka, jika sudah cinta pada Allah, kita sudah tidak lagi sayang pada harta, sudah tidak takut lagi untuk mati di jalan Allah.

Jangan terbalik mendidik anak-anak kita. Kita menanamkan rasa takut pada Allah, sedangkan takut mampu dikalahkan oleh sayang dan cinta. Saat ini kita lebih sering menanamkan pada anak-anak kita tentang dosa Adam AS, ketimbang awas pada dosa iblis. Dosa Adam As adalah melanggar larangan, sedangkan dosa iblis?.Tidak mengerjakan perintah Allah.

Shalat dan Ibadah Syariah lainnya berat?

Tentu berat, karena begitulah hakikatnya. Makanya, dibebankan pada yang sudah taklif/sudah baligh. Jika anak-anak yang sedang diajarkan shalat di usia 7 tahun mengeluh berat shalat?. Itu adalah wajar. Karena Allah sendiri memang menamakannya beban syariah/Taklif syar’ie. Karena beban inilah, Allah menamakan rukhsah yang berarti keringanan jika ada yang didispensasikan. Rukhsah boleh mengqashar/menjamak shalat pada musafir, boleh berbuka puasa dan mengganti dihari lainnya pada wanita hamil dan rukhsah lainnya.

PR kita adalah mentarbiyah diri dan anak-anak kita agar mencintai yang memerintahkan shalat dan ibadah/beban syariahlainnya. Penanda terbaik dari iman itu adalah shalat, karena shalatlah yang paling berat. Kita pasti rela jika yang memerintahkan itu adalah Zat yang amat sangat kita cintai, karena cinta memabukkan. Kita akan rela melakukan apa saja. Bahkan mengorbankan jiwa dan raga demi zat yang kita cintai.

Saat mengajari anak-anak kita shalat, puasa maka hal utama yang kita ajarkan adalah tentang niat. Berbicara niat, maka kita sedang membicarakan tentang iman.

Niat-Iman:

  • Motif
  • Alasan
  • Sengaja

Jika tidak kita mulai dari niat, maka kita hanya mengajarkan rutinitas. Kebiasaan.

Kebiasaan hanya akan masuk dalam memori anak-anak kita, tapi Iman masuk ke hati

Anak-anak yang mendapatkan hak-haknya, dia akan dengan senang hati melakukan kewajibannya. 

Menanamkan pendidikan Aqidah pada anak-anak kita

  1. Keteladan (kitalah orangtua yang berada di garda terdepan mencontohkan.
  2. Kisah-kisah (seindah-indah kisah/Ahsanul Qashas adalah kisah Nabiyullah Yusuf AS.)
  3. Lagu, bermain, bernyanyi
  4. Rekreasi, jalan-jalan, menjelajah alam.

Fitrahnya manusia itu melekat, manusia sejak awal mula diciptakan adalah melekat, jika tidak dilekatkan pada Allah maka ia akan melekat pada taghut.

Mengajarkan Konsekuensi

Cerita Ustaz Adriano Rusfi saat anak beliau yang saat itu berusia 11 tahun meninggalkan shalat jumat.

“Adik tadi shalat jumat?”

“Tidak bi”

Ustazd Aad satu sisi merasa anaknya sudah mampu jujur mengakui kesalahan, hingga hampir tidak tega melaksanakan perintah Allah untuk menghukum anaknya. Akhirnya beliau tetap memukul anak beliau, hingga jadi bisa menjadi pelajaran untuk tidak pernah diulangi lagi. Namun, demi menghargai kejujuran anak beliau, beliau menghadiahkan sepatu yang sudah lama anak beliau idam-idamkan. Karena kejujuran itu harus dibayar mahal. Menempa anak beliau bahwa jujur itu berbuah manis, dan kesalahan juga harus ditegakkan. Masya Allah.

Diatas realitas alami, kita didik generasi islami. Bukan dengan mengkondisikan realitas islami, mendidik anak kita menjadi islami. Biarkan anak-anak kita diujikan imannya oleh alam. Karena Allah sudah berjanji pengakuan atas iman adalah ujian. Jangan pernah mengaku beriman jika belum bernah tahan dan menghadapi ujian.



fb_img_1475932686086

Resume seminar “kupas tuntas fitrah keimanan” disampaikan oleh Ust.Adriano Rusfi, pada hari pertama tanggal 08 Oktober 2016 di Aula Kemenag Provinsi Aceh Banda Aceh. Diselenggarakan oleh Komunitas HEA (Home Education Aceh).

Alhamdulillah Allah anugerahkan kesempatan, kesehatan dan waktu untuk bisa mengais bulir-bulir ilmuNya.

Diposkan pada #ODOPfor99days, #OneDayOnePageFor99DayChallange, homeeducation, homeschool, parenting

Shalatnya anak2 kita dan beban syariah

Dear emak2 cantik shalihah…..
Mungkin kita akan pernah, sedang mengalami kegalauan ini.
Membaca status medsos teman2 shalihah yang lain;

“Alhamdulillah shalihku 3.5thn sudah shalat lengkap rakaat”

“MasyaAllah mas shalihku 5 thn sudah full 5 waktu”

“Anakku 6 thn sudah ikutan tahajud dan dhuha….”

dan anak2 kita di rumah masih dengan proses nan lambat, menguras sabar, energi dan luar biasa. Lelah rasanya mengajak dengan lembut dan sedikit ancaman neraka?anak-anak tetap bergeming dan asyik masyuk dengan segala kegiatannya sendiri?
Apakah kegundahan yang sama sedang merajai harimu bunda?
Lagi-lagi kita merasa “whaaaa….. anakku koq begini2 amat yah…..”
Label shalih/ah sejak dinipun tak tersandang pada anak2 kita.

Baik…..
Mari….saya ingin mengabarkan hal yg mendamaikan hatimu menjalani proses ini…

Bunda…….
Tak mengapa memang mengenalkan amal ibadah pada kanak2 kita sejak dini. Ia menjadi tahu amalan2 terbaik orangtuanya untuk meraih Ridha Rabbnya.
Namun,….
Mari kita menelisik lagi. Kapan agama memerintahkan anak2 diajarkan shalat?
Yap…usia 7 tahun. Kapan anak2 boleh dipukul jika meninggalkan shalat? Iyap, usia 10 tahun.
Apakah Allah dan Rasulnya “rada-rada terlambat” memerintahkan pengenalan syariah ini?
Kita yakin, lebih faham dari sang Khalik kita?
Tidak, tentu saja.
Daaaaan….. dibutuhkan kesabaran selama 3 tahun saat anak2 berproses hingga kewajiban syariah jatuh dipundaknya kelak. 7 tahun ke usia 10 tahun. Itulah prosesnya.
Lantas bagaimana proses itu?
Mari kita membuat prosesnya semenyenangkan mungkin. Seindah-indah kenangan.
Minta wudhuknya tidak 3 kali tapi hanya sekali?
Boleh
Minta rakaatnya diskon?
Boleh
Minta di gendong ke tempat wudhu?
Ayooo……
Sedang belajar bukan?
Belajar yg menyenangkan akan terkenang sepanjang hayat bukan..?
Dari ikhtiar seraya berdoa pada Rabb, kita sedang menumbuhkan kecintaan terhadap ibadah shalat pada buah hati kita.
Bukan sedang memasukkan kontent shalat pada otaknya tanpa anak2 tahu essensi dan kehadiran ruh serta imannya disana.
Hmmm……

Baik….
Saya mencoba menjelaskan esensinya, kenapa terkadang anak2 kita enggan dan malas shalat?
Ibadah shalat adalah ibadah yang sangat tertib dan teratur bukan?
Gerakan2 shalat, perpindahan dari satu rukun ke rukun yang lain, amat sangat tertib dan teratur.
Anak2 kita dengan rentang konsentrasi yang masih amat pendek (1menit x usianya, sbgn pendapat ilmiah), maka gerakan2 tadi amat sangat membebani anak2 kita. Anak-anak ingin bergerak bebas semaunya, tanpa tata tertib.
Jadi kalau anak2  pas rakaat pertama anteng selanjutnya mulai guling2 dan saling mengganggu saudaranya apakah wajar?
Wajar bunda….
Tapi kok ada anak2 yg sdh bisa tertib, yup tetap ada dan kita bisa kita samakan setiap anak harus demikian karena fitrahnya sebenarnya anak2 usia sedemikian tidak menyukai gerakan2 teratur dan tertib. Konon lagi jika sang anak adalah kinestetik.
Uwow kan ya bunda kesabaran bunda diuji?.

Okeh….
Mari kita perdalam lagi. Anak-anak kita dilatih untuk menerima beban syariah dipundaknya saat akil baligh kelak. Masa2 dilatih itu adalah usia 7-10 tahun. Maka disitulah kita menanam dan merawat dengan baik potensi2 ibadah anak2 kita. Hingga pundaknya mampu dan mau dengan sadar dan penuh cinta menerima beban syariah.

Karena sesungguhnya agama Islam itu Beban. Sebagaimana firman Allah.
“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha…….dan seterusnya”
Sesungguhnya Allah tidak akan membebani hambanya dengan hal2 diluar batas kemapuan hambanya.
Iya….ketika kita berpegang teguh pada tali Allah, maka beban2 syariah telah melekat pada diri kita.
Shalat?Beban….
Puasa?Beban…..
Zakat?Beban…..
Berhaji?Beban…
Berjihad?Beban…
Bermuamalah dengan syar’ie?Beban….

Bagaimana beban itu menjadi indah?
Seindah keimanan Bilal Bin Rabah yang dibebani batu panas diatas pasir gurun panas namun tetap menikmati kemanisan iman dengan ucapan “Allahu Ahad”
Seindah beban yang diterima oleh Syahidah pertama Sumayyah yang membayar dengan meregang nyawa?
Kisah2 menyejarah lainnya?
Benar bunda…..
Fitrah keimananlah yang harus kita pelihara dalam diri anak2 kita….

Atau mungkin, kisah2 heroik diatas terlalu melangit untuk difahami?
Baiklah. Saya kisahkan keseharian. Bagaimana bahwa beban itu adalah indah.
Bunda ingat saat2 awal menikah?
Awal2 mengidam?
Saat kita menginginkan sate, namun khusus ditempat nun jauh disana?
Beban bukan buat pak suami?
Namun…beban itu disambut dengan gempita dan sumringah luar biasa, ia akan menembus malam, merentas hujan demi menyelesaikan beban tersebut.
Sejatinya, demikian pula beban syariah di pundak anak2 kita.
Beban nan membahagiakan…
Beban nan ditunggu-tunggu…
Semoga……

Ditulis sebagai pengingat diri, agar sabar lalui setiap tahapan proses ini….
Singkil, 5 April 2016

Cc. Team tersayang….
      Denny Helzami Zamanhuri

Diposkan pada homeeducation, parenting

Jumuah Mubarrak Challange

Hmmmm…..
Setelah curhat tentang mesjid ramah anak dan materi khutbah jumat yang ramah anak kemarin, saya masih merasa perlu kita buat semacam apresiasi apa gitu untuk para jamaah shalat jumat khusus anak-anak ini. Memang diharapkan tidak lantas membuat motivasi anak-anak jadi malah salah kaprah, hanya memberi ruang ingatan manis kelak bahwa ia melalui belajar agama yang benar ini dengan cara yang sangat menyenangkan selain selalu dikenang.

Saya ingat betul tahapan saya belajar shalat. Menyenangkan?tidak, tapi saya senantiasa mengingatnya sampai hari ini. Abu yang senantiasa mengingatkan, bahkan jika menjelang sore sebelum ashar saya belum shalat zuhur, maka harus tetap dikerjakan, tak ada lagi kata main dengan teman. Saya jadi terfikir, bagaimana kalau ada momen-momen menyenangkan dalam mengenalkan ibadah ini ya?. Terutama soal shalat jumat pada anak-anak kita.

Dari tulisan yang lalu jelas harus dipenuhi 2 kriteria utama dulu.
1. Mesjid  yang ramah anak, tidak memperlakukan anak-anak sebagai warga kelas 2
2. Isi khutbah yang ramah anak. Pembicaraan yang difahami oleh anak-anak. Bukan disemua segmen, tapi lihatlah anak-anak ini, sapalah mereka besarkan cintanya pada kebaikan-kebaikan.
3. Apresiasi lingkungan terhadap anak-anak.

Nah…hal yang ketiga ini saya inginnya kita bisa membentuk komunitas “Jumuah Mubarrak Challange” atau apapaun lah namanya nanti. Titik fokus kegiatannya adalah mengapresiasi jamaah jumat katagori anak-anak dengan beragam ide-ide menarik. Komunitas ini akan mengumpulkan donasi suka rela yang digunakan untuk mensupport kegiatan dimaksud. Misalnya :
a. Es krim gratis untuk jamaah shalat jumat anak-anak.
b. Snack dan minum gratis
c. Membagikan buku bacaan gratis (bacaan bisa dari donasi buku bekas para relawan).
d. Alat tulis gratis
e. dan lain-lain

Mekanismenya relawan setiap jumat akan menyebar di beberapa titik, sesuai dengan kondisi kemampuan donasi dan jumlah relawan juga. Setiap jumat target mesjid akan terus berganti, hingga bisa mencapai jumlah banyak titik. Demikian seterusnya dan bisa kembali ke titik permulaan lagi. Whaaa…..seru kan ya…..

image
perjalanan mencintai mesjid
Diposkan pada #ODOPfor99days, #OneDayOnePageFor99DayChallange, parenting

Surat cinta emak-emak untuk sang Khatib

image
perjalanan mencintai mesjid (sumber foto :internet)

Assalamu alaikum wr wb

Yang saya muliakan para khatib mesjid dimanapun anda berada, mudah-mudahan selalu dalam penjagaan Allah dan senantiasa dalam Rahman dan RahimNya.

Hmmmm…..
Saya bingung harus memulai dari mana. Baiklah, saya mulai  dengan kronologi awal mula alasan saya nekat menuliskan surat ini untuk anda semua.

Suatu hari, saya membuka notifikasi di grup Wa Alumni Genusa V (alumni SMA, tak perlu lah detail saya terangkan Genusa V itu singkatan apa, sama sekali tidak penting buat bapak-bapak semua).
Seorang teman, yang anak-anaknya laki-laki usia SD menulis. Isi chatnya kurang lebih begini :
“Teman-teman, jika kebetulan jadi Khatib shalat jumat, tolonglah anak-anak disapa, ini anakku setiap pulang dari shalat jumat selalu bete, gak asyik shalat jumat dengan muka ditekuk”.

Sepertinya yang merasakan hal demikian bukan hanya anak si teman saya, tapi hampir semua anak-anak yang sedang belajar meneguhkan imannya untuk melaksanakan kewajiban shalat jumat bagi muslim laki-laki. Jamaah anak-anak adalah jamaah kelas dua. Jamaah yang hadirnya kadang dianggap masalah,  tiada hadirnyapun tak mengapa. Padahal membangun kecintaan dan ketertarikan pada mesjid adalah hal yang niscaya, tapi tak pernah terpikirkan oleh kita dewasa untuk mengemasnya dengan sedemikian menarik.

Anak-anak jamaah shalat jumat adalah warga terpinggirkan. Tak ada sapaan untuk anak-anak dalam isi khutbah yang dibawa. Tak ada tema-tema ringan, yang mudah dicerna, tentang adab makan Rasulullah, membuang duri dijalan, tentang dialog Lukman Al Hakim dengan putranya, tentang Rasulullah menghargai pendapat meskipun keluar dari seorang bocah. Tentang pemuda-pemuda muslim yang mencapai prestasi gilang-gemilang pada usia amat sangat muda, tentang para Imam yang sudah mengkhatamkan hafalannya saat belia, tentang menggelorakan cita-cita jadi muslim terbaik, jadi khalifah dengan misi rahmat bagi sekalian alam. Hingga dia merasa bukan sedang berada di majelis asing, majelis yang roaming untuk katagorinya. Tak apalah bahas yang berat-berat, tapi sedikitnya adalah yang mudah difahami oleh bocah usia SD atau yang baru akan menjelang akil baligh.

Anak-anak jamaah shalat jumat adalah warga terpinggirkan.
Tak peduli secepat apapun hadirnya pada majelis shalat jumat, maka dia tak berhak berdiri di shaf pertama. Padahal jika anak sudah mumayyiz (anak-anak usia 7 tahun ke atas biasanya sudah kan ya?) sudah mampu melaksanakan shalat dengan tertib dan benar maka, tiada mengapa ia berdiri diantara para dewasa. Meskipun ada banyak riwayat yang menitik beratkan bahwa shaf pertama diisi oleh orang-orang yang dewasa dan fasih, mengingat jika imam uzur, salah satu jamaah dapat menggantikan mereka. Tapi tak salah jika si anak datang pertama dengan azzam yang kuat ingin meraih keutamaan jumat datang diawal dan mengisi shaf depan namun di pinggir bukan?. Bukankah tetap sah shalat meskipun ada anak2 yang diapit oleh orang dewasa?.Tapi Imam Ahmad memang menganjurkan anak-anak dibariskan dibelakang.

Hmmm…..
Maafkan saya duhai para khatib yang dimuliakan Allah. Saya mah ini sedang curhat, anggaplah begitu. Karena emak-emak kayak saya pastinya miskin ilmu dan amal, kami hanya punya limpahan kasih sayang dan empati seluas dunia pada anak-anak (laki-laki) kami, penerus risalah ini. Calon pemuda-pemuda pengemban amanah. Jangan sampai perjalan ke mesjid menjadi perjalanan terberat dan terjauh bagi anak-anak kita. Menjadi tidak gempita, menjadi daripada dimarah ayah dan ummi. Sedangkan ritual ibadah yang lahir dari cinta efeknya akan sangat luar biasa bukan?.

image
Perjalanan mencintai mesjid

Sekian surat dari saya, mudah-mudahan ada manfaatnya.
Sepenuh hormat dan takzim dari saya seorang ibu yang ingin anak-anaknya mencintai Rabbnya……